“Insanity: doing the same thing over and over again and expecting different results.” ~ Albert Einstein
Sebagai bagian dari generasi Y pada umumnya, saya adalah orang yang cukup peka terhadap segala perubahan, bahkan cenderung menuntut perubahan. Saya ingin lingkungan saya berubah seiring majunya dunia teknologi sekarang. Saya tidak suka lingkungan yang kolot, lelet, manual, senioritas, birokratis, monoton, dan sebagainya. Saya ingin dunia ini seperti kompetisi lari di antara balon warna-warni, bergerak cepat dan ‘always have fun’. Seolah-olah menjadi “gaptek” dan “nggak seru” itu kesalahan besar dan layak di-bully. Seolah-olah “lelet” itu berarti layak ditinggalkan.
Sayangnya, saya seringkali lupa bahwa menuntut lingkungan berubah itu artinya saya juga harus ikut berubah. Nampaknya saya, dan mungkin kebanyakan generasi Y pada umumnya, lebih senang duduk santai sambil menikmati perubahan. Mungkin karena terlalu dimanjakan teknologi yang melesat pesat, saya jadi terbiasa duduk cantik sambil minum kopi, dengan jari yang sibuk mengamati perubahan dunia. Hanya dengan beberapa kali klik, saya sudah bisa tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain, di waktu yang sama dengan saya menyeruput kopi pertama pagi ini.
Saya menjadi lupa, bahwa untuk mendapatkan sesuatu berarti saya harus berusaha lebih. Bahwa untuk memahami suatu masalah saya harus banyak membaca dan berdiskusi, bukan sekedar membaca judul berita yang di-retweet orang sekenanya di twitter lalu merasa sudah tahu banyak hal. Bahwa untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, saya harus memperbaiki kinerja saya, dan itu tidak semudah mengetik “Bagaimana mendapatkan hasil yang lebih baik” di kolom pencarian Google.
Alih-alih menggunakan teknologi untuk membangun mimpi, saya justru memilih dimanjakan oleh teknologi. Membuat saya merasa bahwa dunia (harus) bekerja untuk saya, bukan saya yang bekerja untuk (memperbaiki) dunia. Jadilah saya, seperti anak-anak muda kebanyakan, yang menuntut dunia berubah namun tidak menuntut diri sendiri untuk mulai melakukan perubahan.
“Seharusnya pekerja muda diberi kesempatan untuk berkembang, misalnya diberikan tugas yang lebih menantang karena pekerjaan rutin terlalu monoton.” kata saya berapi-api kepada salah seorang senior tentang aspirasi para pekerja muda di perusahaan tempat saya bekerja. “Seharusnya pekerja muda yang inisiatif mencari ide-ide baru. Kalian ditempatkan di suatu posisi karena diharapkan mampu membuat inovasi di sana.” kata senior saya tak kalah berapi-apinya.
Saya tersenyum kecut. Saya terlalu bersemangat untuk “mencari kesempatan”, tapi tidak pernah berusaha membuat kesempatan itu ada. Selama ini saya dan teman-teman selalu mengeluhkan kesempatan yang kurang bagi pekerja muda untuk berkembang. Saya selalu menyalahkan Pekerjaan rutin yang membosankan, yang saya anggap menjadi penyebab hilangnya motivasi bekerja. Seolah-olah atasan dan pekerjaan rutin lah yang harus disalahkan jika saya kurang berkontribusi terhadap perusahaan. Ketika saya diam-diam bertanya pada diri sendiri, “Memangnya apa ide inovasi yang pernah kamu usulkan selama bekerja?” Nihil. Saya tidak menemukan jawaban apapun di sana.
Kalaupun pernah ada ide yang saya usulkan, “Apakah saya yakin ide yang pernah saya usulkan memang yang terbaik untuk perusahaan?” Tentu dalam hati saya akan mengiyakan, karena apa yang saya pikirkan tentu yang terbaik (menurut saya). Tapi, apakah menurut perusahaan itulah yang terbaik, atau cara saya menyampaikan yang tak baik sehingga ide saya ditolak?
Seringkali kita terlalu terburu-buru dalam proses perubahan itu, sehingga tak berjalan seperti yang kita harapkan. Seringkali juga kita terburu-buru menyimpulkan, bahwa lingkungan tidak mau berubah seperti harapan kita. Padahal bisa jadi, cara dan sikap kita yang harus dirubah terlebih dulu, sebelum menuntut perubahan. Maka benar kata Einstein di atas, melakukan hal yang sama terus menerus tapi menuntut hasil yang berbeda itu gila namanya. Kalau ingin dunia berubah, ubahlah diri kita terlebih dulu. Ubah cara kita, ubah sikap atau cara pandang kita. Mungkin selama ini kita terlalu fokus pada salah satu sudut pandang, sementara orang lain berada di sudut pandang yang berbeda. Jika ingin orang lain berubah, lihat dengan sudut pandang mereka, bukan memaksa mereka melihat dengan sudut pandang kita. Ibarat sebuah kubus yang punya enam sisi dengan warna yang berbeda. Jika kita hanya diam, selamanya kita akan melihat kubus itu berwarna hitam. Padahal bisa jadi teman di seberang melihat warna biru, dan di sebelah kita menikmati warna merah. Terkadang sudut pandang orang lain lebih “indah” dari sudut pandang kita, maka perluaslah sudut pandang agar kita bisa melihat lebih banyak warna kehidupan.
“Kok bisa sih? Aku aja belum pernah training….” Saya terhenyak mendengar komentar dua teman kantor saya beda angkatan, saat tahu kalau saya mau mengikuti sebuah training. “Aku aja belum pernah”, artinya seharusnya mereka dulu yang berangkat training sebelum saya, karena secara angkatan mereka lebih senior. Saya ingat beberapa hari sebelumnya, para pekerja muda di direktorat saya dikumpulkan untuk menyampaikan aspirasi. “Senioritas” adalah salah satu isu yang selama ini dikeluhkan para pekerja muda. Demi mendengar komentar teman-teman saya yang notabene masih ‘junior’ itu, saya ragu perubahan dari senioritas menjadi fair treatment akan mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Karna bahkan kami sendiri, para pekerja muda yang selalu menuntut perubahan ini, rupanya belum mau berubah.
Padahal jika sikap dan perilaku kita masih terus sama, dunia tak akan berubah seperti yang kita harapkan.
“If you do what you’ve always done, you’ll get what you always gotten.” ~ Anthony Robbins