100 Mukena dan Sarung untuk Anak Jalanan


“Adek tahu kan caranya Shalat?” kataku pada anak kecil di depanku. Namanya Iyam, umurnya sekitar 8 tahun. Iyam adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang ibunya seorang ibu pemulung. Ayahnya telah lama pergi. “Kawin lagi,” kata ibunya singkat. Saya berkenalan dengan Iyam saat awal-awal berdirinya perpustakaan Komunitas Jendela Jakarta di Manggarai. Waktu itu saya baru selesai mengajar anak-anak di perpustakaan dan berjalan ke arah stasiun Manggarai. Di sebuah tikungan, saya melihat sebuah gerobak ter-‘parkir’ di bawah pohon, tepat di samping tumpukan plastik-plastik sampah. Seorang anak berpakaian lusuh, dengan bau badan yang cukup menyengat, mendekati saya dengan sangat semangat. “Kakakkkk….” teriaknya sambil menyalami tangan saya dan menciumnya. Beberapa anak lain yang sedang bermain pun ikut mendekati saya dan melakukan hal yang sama.

Sejak saat itu, saya mengenal Iyam dengan segala cerita hidupnya. Sejak saat itu pula, saya mulai mengajak Iyam mengenal baca-tulis, mengenal mimpi. Sejak saat itu pula saya mulai mengajak Iyam mengenal ‘Shalat’.

“Tapi aku nggak punya mukena kak.” kata Iyam dan teman-temannya.
“Nggak papa sayang, kan ada mukena di Mushola,” kata saya sambil menggandeng tangan-tangan mungil itu menuju mushola di belakang perpustakaan.

Belakangan saya baru sadar. Anak-anak ini tidak pernah mengenal Shalat barangkali bukan karna orang tuanya yang tidak paham agama. Tapi… Bagaimana cara seorang ibu mengajari Shalat ketika selembar mushola atau sarung pun tak punya?
Stop telling me, “Ahh… Kalau emang niat kan bisa pinjam mukena di mushola…atau pakai kain yang penting auratnya tertutup.”

Begini. Waktu kecil hidup saya sangat miskin. Sangat miskin, bukan cuma miskin. Saya pernah makan nasi aking, saya pernah makan tumis singkong…hanya karna itu satu-satunya bahan makanan yang kami punya. Saya hanya beli baju saat lebaran, itupun terkadang ibu saya harus berhutang. Yang harus saya syukuri, saya tidak perlu mengemis dan tidur di gerobak seperti Iyam dan keluarganya. Saya masih bisa tinggal di rumah, meskipun tidak layak. Persamaannya… Saya dulu juga malas shalat dan ke masjid, hanya karena tidak punya mukena yang layak. Mukena saya rombeng, dan saya malu memakai mukena itu ke masjid. Jadilah saya belajar shalat dan mengaji di rumah. Kemampuan mengaji saya sampai sekarang masih abal-abal karena lebih banyak belajar otodidak. Belajar di kelas, bertanya kepada teman yang lebih pintar mengaji, baca buku belajar tajwid, mendengarkan pelajaran mengaji di radio, dan sebagainya. Saya beruntung karena meski miskin, ibu saya bisa shalat dan mengaji, jadi bisa ngajarin saya. Itupun saya baru benar-benar belajar agama saat SMA.

Jadi… Saya sedikit banyak tahu bagaimana anak-anak jalanan seperti Iyam kesulitan belajar agama. Saya paham kenapa mereka susah diajari Shalat dan mengaji. Banyak alasan dan latar belakangnya. Sangat sayang kalau ternyata alasan utama mereka tidak shalat hanya karena tidak adanya mukena atau sarung, padahal bisa jadi mereka juga ingin ikut berbondong-bondong ke masjid untuk Shalat Tarawih seperti anak-anak lainnya.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Biasanya di bulan ini banyak yang mengadakan acara bakti sosial, berbagi takjil, berbagi sahur, buka bersama di panti asuhan, dan sebagainya. Adakah yang tertarik berbagi mukena dan sarung untuk anak-anak jalanan? Saya sedang tidak ingin berpikir, “Ahh…jangan-jangan sarungnya nggak dipakai shalat, malah dipakai buat tidur”, dan berbagai pikiran-pikiran ‘jangan-jangan’ yang lain. Saya hanya ingin menumbuhkan harapan, bahwa semiskin-miskinnya anak-anak itu, mereka masih bisa berlari kegirangan menuju masjid saat ada panggilan adzan. Bahwa, barangkali, saat shalat Ied nanti, mereka datang ke masjid bukan sekedar untuk mengemis…tapi membentangkan koran, memakai mukena baru mereka, dan bertakbir, “Allahu Akbar.”

Adakah yang tertarik?

3 thoughts on “100 Mukena dan Sarung untuk Anak Jalanan”

  1. Assalaammu’alaikum.. Saya mau ikut program 100 mukena utk anak jalanan.. Tolong kabarin gmn caranya ya
    Thanks

    1. Waalaikumsalam.

      Terima kasih untuk niat baiknya. Kebetulan program ini sudah selesai dijalankan…. Kalau ada rencana berbagi lagi akan saya kabari. Mbak bisa dihubungi kemana? Atau bisa follow blog saya ini, kalau ada event lagi akan saya post di sini 🙂

Leave a reply to Anita Cancel reply